Jumat, 03 Desember 2010

inilah aku yang sebenarnya


Aku yang sekarang ini adalah metamorfosa seorang anak manusia yang berangkat dari keluarga yang sederhana, punya mimpi, berusaha mengejar mimpi, dan akhirnya jadilah aku yang mandiri seperti saat ini. Aku bukanlah terlahir dari keluarga kaya raya. Aku besar ditengah-tengah keluarga sederhana Tapi Ayahku selalu mengajarkan bagaimana seseorang bisa menjadi kaya hati. Secara ekonomi, kami hanyalah keluarga dengan mata pencaharian sebagai petani. Karena keinginan yang kuatlah hingga akhirnya aku bisa sampai dikota besar seperti Jogjakarta, Bandung, dan akhirnya sampai di Surabaya. Betapa bangganya keluargaku atas keberhasilanku saat ini. Meski keberhasilan ku bukanlah keberhasilan karena aku menjadi seorang pengusaha yang sukses atau menjadi pejabat yang disegani, tapi berhasil menjadi karyawan swasta dan saat ini aku sudah menjadi supervisor accounting di salah satu perusahaan swasta di Surabaya.
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Meski aku seorang perempuan yang identik dengan menagis, namun selalu mendidikku untuk selalu disiplin dan selalu memberi semangat. Sejak duduk dibangku sekolah dasar, ayah selalu bangga atas prestasiku dikelas. Aku selalu menjadi rangking kelas. Karena melihat prestasiku itulah, ayah selalu mendukung ku untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dalam prestasi akademik, nilai matematika ku selalu menonjol dibandingkan mata pelajaran lainnya. Ketika masih di sekolah dasar, banyak hal sulit yang harus ku hadapi. Ketika masih di tingkat sekolah dasar, aku harus berhadapan dengan suasana ketidakharmonisan hubungan Ayah dan Ibuku. Pernah suatu kali, Ayah dan Ibuku bertengkar hebat. Karena faktor ekonomi, ayahku berencana menjadi TKI di Malaysia. Ibuku melarang. Namun ayah tetap bersikukuh. Hingga akhirnya Ibu mengijinkan ayah untuk berangkat dengan syarat Ibuku harus ikut serta ke Malaysia. Mendengar rencana itu, hatiku menjerit. Air mataku tumpah. Aku hanya terdiam terpaku. Tak ada yang tahu apa yang kurasakan saat itu. Saat itu aku hanya seorang anak dibawah umur sepuluh tahun yang tidak mengerti apa-apa. Aku merasa keberadaanku tidak punya arti buat mereka. Bagaimana bisa mereka berencana meninggalkan aku, adikku yang belum genap dua tahun, kakek dan nenekku yang saat itu satu rumah dengan aku? Bagaimana hari-hariku tanpa orang tua disampingku? Bagaimana dengan adikku, kakek dan nenekku? Jawaban dari semua tanya saat itu hanyalah air mataku. Air mata yang selalu menjadi teman setia dalam kesedihanku. Hanya dengan menangis aku bisa menumpahkan semua gejolak dalam diriku. Meski dengan menangis tidak menyelesaikan masalah keluargaku, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa membantah ataupun protes terhadap keputusan Ayah dan Ibuku. Hingga hari itu tiba, hari dimana aku harus benar-benar rela melepas keberangkatan ayah dan ibu ke Malaysia untuk menjadi TKI disana. Isak tangis aku dan adikku menyeruak diruang tengah rumah kami saat terakhir harus melepas kepergian ayah dan ibu ke Malaysia.
Hari-hari kulalui bersama adik, kakek dan nenekku. Aku tahu, dalam hati ayahku yang paling dalam sebenarnya tidak rela meninggalkan kami. Pahit kurasakan, tapi harus ku telan mentah-mentah. Ayahku berpesan untuk selalu belajar, selalu berdo’a dan jangan pernah meninggalkan shalat lima waktu. Pesan yang mudah diucapkan namun sulit untuk dilaksanakan. Apalagi harus kulalui sendiri tanpa ayahku. Namun, dari sinilah kemandirianku tumbuh. Hidup jauh dari orang tua membuatku belajar bagaimana menjalani hidup dan memahami arti hidup yang sebenarnya. Dua tahun pertama di sekolah menengah pertama ku jalani dengan lancar. Ketika itu umurnya sekitar 14 tahun. Sebagai pelajar yang selalu berprestasi terbaik di kelas membuatku terkenal dikalangan pelajar termasuk dikalangan guru. Secara fisik, aku bukanlah seorang siswi yang menarik hati, tubuh kecil namun imut(narsis.com), sederhana dan apa adanya. Yah, sebandinglah dengan artis sekelas Yuni Shara yang imut-imut. Tapi, aku tetap layak untuk bisa menggaet cowok, apalagi itu adalah cowok yang diandalkan oleh sekolah karena selalu dipilih untuk mewakili sekolah ketika ada event atau perlombaan pemilihan model antar pelajar SMP. Dialah Andika Wibowo. Dengan postur tubuh yang tinggi, kulit bersih, dan dari keluarga yang cukup berada. Dari seorang Andika lah aku mengenal cinta. Eits, tepatnya cinta monyet. Andika adalah pacar pertamaku. Kedekatanku dengannya membuat semangat belajarku bertambah. Apalagi dia teman sekelasku. Tiada hari tanpa melihatnya. Maklumlah, baru pertama pacaran. Mungkin hanya dengan melihatnya sudah bisa membuat aku senang. Itulah cinta monyet. Hubunganku dengan Andika berlanjut hingga kami SMA. Meski kami beda sekolah, namun kami masih tetap bisa berhubungan.
Roda kehidupan terus berputar. Hidup akan terus berlanjut apapun yang sudah terjadi, dan apapun yang akan terjadi harus tetap dijalani. Bagiku, menuntut ilmu lebih utama dari pada cinta. Aku rela meninggalkan Andika demi cita-citaku. Ayah ingin aku bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin itulah harapan setiap orangtua pada anaknya. Orangtua berharap anaknya bisa sekolah sampai mendapat gelar sarjana. Apalagi itu adalah impian seorang ayah yang hanya bermodalkan dana dari hasil kerja sebagai TKI di Malaysia. Demi membahagiakan Ayahku, aku rela memutuskan hubunganku dengan Andika selepas SMA. Tanpa memperdulikan perasaan Andika yang masih mengharapkan hubungan tetap berlanjut, aku meninggalkan kota kelahiranku untuk melanjutkan kuliah di Yogyakarta. Meninggalkan semua kenanganku dengan Andika. Demi menggapai cita-citaku, sekuat tenaga aku belajar untuk bisa lolos dan di terima di UGM. Namun manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a. Semuanya keputusan akhir kembali pada sang Maha Pencipta. Aku tidak lolos ujian masuk UGM. Kecewa yang luar biasa. Dengan tetap berbesar hati aku menyampaikan kabar buruk itu kepada Ayahku  yang saat itu masih di Malaysia. Aku merasa gagal untuk bisa membahagiakan ayah. Namun ayah adalah orang yang hebat. Layak jadi panutan. Layak dapat gelar pahlawan. Dengan suara yang tenang namun pasti, ayah mengatakan bahwa saat ini mungkin UGM bukan tempat yang tepat buatku menuntut ilmu. Meskipun kata-kata itu hanya aku dengar lewat telepon, aku tetap merasakan bahwa saat itu ayahku kecewa. Namun beliau tidak ingin membuatku semakin terpuruk. Apalagi saat itu aku seorang diri di Yogyakarta. Tak ada teman ataupun saudara yang sebelumnya aku kenal disana.
Dengan tambahan semangat dari ayahku, akhirnya aku bisa berdiri dan mulai menata langkah apa yang selanjutnya harus aku lakukan. Aku tidak ingin pulang dengan membawa setumpuk oleh-oleh kekecewaan untuk adik, nenek, dan kakekku dirumah. Dengan berbekal informasi yang aku peroleh dari temen-teman kosku yang baru aku kenal, aku mencoba mendatangi beberapa kampus swasta yang masih membuka pendaftaran mahasiswa baru. Saat itu, pendaftaran mahasiswa baru sudah memasuki gelombang kedua. Sedangkan untuk pendaftaran gelombang pertama sudah ditutup. Semangatku yang sempat berserakan karena kecewa tidak lolos penerimaan mahasiwa baru UGM, kini telah kembali. Akhirnya aku mendaftar di salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Aku memilih jurusan akuntansi di suatu Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi. Waktupun berlalu. Sebagai anak kos yang hnaya mengandalkan kiriman uang dari orangtua yang bekerja sebagai TKI, tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup ataupun kuliahku. Belum lagi kalau ada kegiatan tambahan yang wajib diikuti mahasiswa, itu membutuhkan dana tambahan yang tak mungkin aku minta dalam waktu sekejap. Aku mulai berfikir keras. Apa yang bisa aku lakukan untuk bisa menutupi kekurangan biaya hidupku. Aku mulai membuat konsep. Mulai membuat jadwal kapan aku harus puasa sunnah senin-kamis, kapan masak sendiri untuk mengurangi kebiasaan jajan diluar, mencari info beasiswa, dan sampai akhirnya muncul ide untuk mencari uang tambahan dengan bekerja freelance. Dari semua konsep yang aku buat tersebut, hanya satu yang tidak bisa terealisasikan, itu adalah bekerja freelance. Dengan kondisi aku harus kuliah pagi, siang atau bahkan malam, aku tidak bisa membagi jadwal kuliahku jika aku harus bekerja. Sejak awal aku diterima menjadi mahasiswa, aku sudah bertekad bahwa aku harus bisa menyelesaikan kuliah lebih cepat. Dengan nilai Indeks Prestasi(IP) yang selalu cumlaude, aku bisa mengambil mata kuliah untuk semester yang akan datang. Dengan cara itu aku bisa lebih mempersingkat masa kuliahku dan bisa meringankan beban ayahku. Dengan nilai IPK yang aku raih tiap semester, akhirnya aku bisa mendapat beasiswa dari salah satu yayasan milik kampus tiap semester. Karena semangat yang hanya terfokus pada kuliah, aku melupakan sisi lain dari kehidupannku. Masalah percintaan. Pernah suatu kali, ketika aku pulang kampung, aku sempat bertemu dengan Andika. Pacar pertamaku saat aku sekolah dulu. Namun tekad tetap tekad. Tekadku untuk fokus pada kuliah sampai aku menyelesaikan kuliah mengalahkan egoku untuk menjalin suatu hubungan yang lebih serius dengan Andika. Andika mengunjungiku dan bermaksud untuk menjalin kembali hubungan yang sempat terputus. Ku akui, hubunganku dengan Andika dulu sangat berkesan. Now, To be honest..I’m still loving you. Sometime, I miss you so much. Namun semua kata-kata romantis itu harus ku kesampingkan. Demi membahagiakan ayah. Cinta urutan kedua setelah kuliah.
Andika bukanlah satu-satunya orang yang aku tolak cintanya. Surya, seorang mahasiswa yang kebetulan lokasi kos kami berdekatan, juga mencoba menyampaikan isi hatinya padaku. Berbeda dengan Andika, Surya lebih dewasa, lebih taat agama, dan lebih bisa mengerti perasaan wanita. Saat itu Surya pun menjadi korban dari penolakanku. Namun Surya tetap menjalin hubungan baik denganku meski cintanya sudah ku tolak. Awalnya aku sempat menutup diri untuk Surya sebelum cita-cita membahagiakan orangtuaku terwujud. Namun saat itu entah kenapa aku toleransi dengan diriku sendiri. Aku memberi kesempatan pada diriku sendiri dekat dengan Surya. Karena aku merasa Surya adalah tipe lelaki yang bertanggung jawab dan dalam pikiranku, Surya benar-benar serius ingin menjalin hubungan denganku. Semakin hari hubungan kami semakin dekat. Seperti pepatah jawa, tresno jalaran soko kulino. Itu pulalah yang aku alami. Sedikit demi sedikit timbul rasa cinta dalam diriku. Aku sempat berfikir ulang untuk menerima Surya jadi pacarku. Hingga akhirnya kami jadian. Hari-hari kulalui dengan Surya. Hubunganku dengan Surya tidak menggangu kuliahku yang saat itu sudah memasuki semester akhir. Hubungan kami berlanjut meski saat itu kami harus terpisah jarak antara Surabaya dan Yogyakarta. Setelah kuliahku selesai, aku diterima bekerja di salah satu perusahaan swasta di Surabaya. Sedangkan Surya belum bisa menyelesaikan kuliah tepat waktu. Awalnya, long distance relationship yang kami jalin baik-baik saja. Namun kenyataannya, semuanya berjalan tidak sesuai rencana. Hubungan kamipun putus ditengah jalan.
Hari-hari kulewati dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan. Tanpa memikirkan bahwa hidup tidak hanya dengan bekerja. Tapi harus bisa bersosialisai dan bisa menjalin hubungan dengan lain jenis. Dengan kata lain bahwa selama bekerja aku sedikit melupakan masalah pernikahan. Padahal semua orang menginginkan hubungan pernikahan itu. Aku bukanlah tipe wanita yang mudah jatuh cinta. Hatiku pernah ku isi dengan dua nama, Andika dan Surya. Cukup dua nama saja yang pernah singgah dihatiku. Jika kelak harus ada nama baru mengisi hatiku, aku berharap dialah suamiku. Jika aku harus dihadapakan hanya pada dua pilhan antara Andika dan Surya, aku akan lebih memilih Surya. Hingga ahirnya, suatu hari aku mencoba menghubungi Surya. Awalnya hanya sedekar menanyakan kabar dan lain sebagainya. Ternyata komunikasi itu mendapat respon yang baik dari Surya. Aku merasa Surya masih menyimpan perasaan yang sama denganku. Hubungan kamipun kembali baik. Dan suatu ketika, aku mulai menanyakan tentang hubungan kami dan berharap lebih serius. Dan Suryapun menanggapinya dengan serius, dan bahkan dia berniat untuk melamarku. Beribu-ribu harapan ku tanam pada Surya. Pintu hatikupun sudah tertutup untuk orang lain dan hanya untuk Surya seorang. Karena aku merasa dialah yang terbaik untukku. Niat Surya yang ingin melamarku, aku sampaikan pada kedua orangtuaku. Meski hanya lewat telepon, orangtuaku percaya bahwa apa yang aku pilih, itulah yang terbaik buat aku. Hari demi hari ku nanti kedatangan Surya ke Surabaya. Berharap Surya datang sekedar menemuiku untuk melepas kerinduan. Namun Surya selalu mengatakan sibuk dengan pekerjaan. Akupun mengerti pekerjaan Surya yang harus berpindah-pindah. Pindah dari satu proyek ke proyek lain yang lokasinya tidak hanya diluar pulau. Bahkan sering keluar negeri. Dengan kondisi itu, aku mulai bimbang akan hubungan yang aku jalin dengan Surya. Hingga suatu hari, kami sempatkan untuk bertemu di Jogja.
“Surya, aku ingin kejelasan”.
“soal apa?”jawaban Surya yang datar seolah-olah mematahkan semangat hidupku.
“ya tentang hubungan kita?”tanyaku dengan mimik wajah yang serius.
“maksudnya apa?”
“ya… tentang rencana kamu untuk melamarku. Orangtuaku sudah mulai menanyakan niatmu itu”.
“Oo..soal itu?”sikap Surya yang seolah acuh, membuatku menarik napas panjang. Seolah itu firasat buruk. Hatiku mulai gundah. Saat itu aku pasrah. Aku diam dan bahkan hampir menangis. Saat itu aku hanya berfikir jika Surya ternyata membatalkan niatnya untuk melamarku, aku tak perlu bersedih. Aku harus tetap tegar apapun yang akan dikatakan Surya. Mungkin Surya bukan jodohku. Mungkin Surya bukanlah orang yang terbaik untuk hidupku. Jodoh sudah Allah yang mengatur. Hanya Allah yang tahu siapa yang terbaik untuk hidupku. Beberapa detik kemudian, Surya menatapku. Tatapan itu, bukan tatapan Surya yang aku harapkan. Tatapan seolah menahan sesuatu.
“Ana, maafkan aku. Hari ini aku mengecewakanmu. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita. Bukan karena aku tidak mencintaimu lagi. Tapi aku masih ingin fokus pada pekerjaanku dulu dan ingin membahagiakan orangtuaku. Masih banyak hal yang harus kulakukan untuk keluargaku?”
Jawaban Surya membuat dadaku sesak. Tak satupun kata-kata terucap dari mulutku. Hanya air mata yang mulai jatuh dan semakin deras. Airmata yang selalu menemaniku disaat-saat sedih sejak aku masih kecil hingga saat ini. Dan tanpa satu katapun aku beranjak meninggalkan Surya. Surya berusaha mengejarku. Berusaha untuk menjelaskan kembali alasan kenapa dia membatalkan niatnya untuk melamarku.
Malam itu di Jogja, aku sendiri. Mencoba berfikir dengan kepala dingin, mencoba menerima alasan Surya. Hari ini, bagiku Surya adalah orang yang paling jahat sedunia. Karena ia memusnahkan semua harapan-harapan yang telah aku tanamkan padanya. Namun disisi lain, saat ini dan esok Surya berusaha menjadi anak yang berbakti pada orang tuanya. Seperti aku yang dulu, berusaha membahagiakan ayah meski aku harus menyakiti Andika. Itulah aku dan Surya. Seperti novel zero to hero yang ditulis oleh Solikhin Abu Izzudin. Belajar dari nol hingga bisa seperti sekarang ini. Saat ini aku telah menjadi pahlawan dalam keluargaku. Begitu juga dengan Surya. Dia akan menjadi pahlawan dalam keluarganya. Aku rela meninggalkan Andika demi untuk menjadi pahlawan bagi keluarga. Dan Surya, rela meninggalkan aku demi untuk menjadi pahlawan bagi keluarganya.

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html




kyai palsu

malam itu, aku dan keluargaku berkunjung ke rumah salah satu kolega ayahku.Saat kai tiba disana kami semua bersalaman. Tanpa rasa malu dan sungkan akupun ikut menyalami semua orang yang ada disana. Dengan rasa hormata aku menyalami mereka dengan mencium tangan mereka tanpa terkecuali, hingga sampai pada orang tua berpeci putih dan berbaju putih pula layaknya seorang kyai. belum lepas tanganku dari orang yang kuanggap kyai itu, istri teman ayahku nyeletuk,"eeeeh mbak, itu orang gila". Astaga naga....sontak aku berlari sambil menahan rasa malu.